Jakarta, 4 Maret 2025 – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat bersiap menggelar sidang perdana mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, pada Kamis besok (6/3). Sidang ini menandai babak baru dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang merugikan negara hingga Rp578 miliar. Di balik ruang sidang yang dingin, kisah ini membawa publik kembali ke masa ketika kebijakan impor menjadi bumerang, mengguncang kepercayaan terhadap regulator pemerintahan saat itu.
Hari ini, di Rutan Salemba, Tom Lembong tampak tenang namun teguh saat ditemui awak media menjelang pelimpahan ke pengadilan. “Saya siap menghadapi proses hukum ini dengan kepala tegak. Kebenaran akan terungkap,” katanya singkat, sebelum dikawal petugas menuju mobil tahanan. Tom, yang pernah menjadi salah satu tokoh kunci di era pemerintahan Joko Widodo, kini menjadi sorotan dalam perkara yang mencoreng kariernya sebagai pejabat publik.
Kebijakan Kontroversial dan Kerugian Negara
Kasus ini berpangkal pada kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) yang diterbitkan Tom Lembong saat menjabat Menteri Perdagangan pada 2015-2016. Menurut dakwaan Kejaksaan Agung (Kejagung), Tom diduga menyalahgunakan wewenang dengan memberikan izin impor kepada PT Angels Products (PT AP) untuk mengimpor 105.000 ton GKM, yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP). Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, impor GKP hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kejagung menyebut kebijakan tersebut tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait, seperti Kementerian Perindustrian, dan bertentangan dengan data surplus gula nasional pada Mei 2015. Akibatnya, PT AP dan delapan perusahaan swasta lainnya meraup keuntungan besar, sementara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI)—BUMN yang seharusnya bertanggung jawab—hanya mendapat fee Rp105 per kilogram. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian negara mencapai Rp578 miliar, angka yang membuat publik bertanya: bagaimana sebuah kebijakan bisa berujung pada kerugian sebesar itu?
Tom bukan satu-satunya tersangka. Charles Sitorus, eks Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, juga akan menjalani sidang bersama sembilan tersangka lain dari kalangan swasta. Namun, sorotan utama tetap tertuju pada Tom, yang pernah menjabat Kepala BKPM dan menjadi figur publik di kubu Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Perjalanan kariernya dari lulusan Harvard hingga terseret kasus hukum menjadi narasi yang mengundang simpati sekaligus kritik.
Dari Kebijakan ke Ruang Sidang
Sidang perdana besok akan diawali pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum, yang dijadwalkan pukul 09.00 WIB di Ruang Sidang Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali. Bagi Tom, ini adalah momen untuk membela diri setelah praperadilannya ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2024. Dalam sidang praperadilan itu, ia bersikeras bahwa kebijakan impornya merupakan “perintah presiden” dan mencatat bahwa menteri perdagangan lain di era Jokowi juga melakukan impor serupa. Namun, hakim menilai argumennya tak cukup kuat untuk membatalkan status tersangka.
Publik kini menanti bagaimana Tom dan tim hukumnya menghadapi dakwaan ini. Sejumlah pihak, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta Kejagung transparan dalam mengurai unsur pidana agar kasus ini tak dianggap sebagai kriminalisasi politik. Sementara itu, pengembalian Rp565 miliar oleh sembilan tersangka swasta menjadi tanda tanya: jika kerugian sudah dikembalikan, mengapa proses pidana tetap berlanjut?
Menanti Kejelasan di Balik Drama Hukum
Ketika lampu ruang sidang menyala besok, jutaan pasang mata akan menyaksikan apakah kasus ini murni penegakan hukum atau ada motif lain di baliknya. Bagi Tom Lembong, ini adalah pertarungan untuk membersihkan nama baiknya. Bagi masyarakat, ini adalah cermin dari kompleksitas tata kelola yang kerap kali tersandung di persimpangan kepentingan. Sidang perdana hanyalah awal—kebenaran, seperti gula yang pernah diimpor, masih harus diolah hingga terlihat jernih.