Jakarta, 5 Maret 2025 – Ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjadi saksi ketegangan saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, pada Kamis (6/3). Dalam sidang perdana ini, jaksa mengungkapkan bahwa Tom diduga memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton pada 2015, meski stok gula nasional saat itu dinyatakan mencukupi. Tuduhan ini membuka kembali luka lama kebijakan perdagangan yang kini berujung pada drama hukum, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp578 miliar.
Bayang-bayang masa lalu Tom sebagai Menteri Perdagangan periode 2015-2016 kini menghantuinya. Jaksa menyoroti rapat koordinasi pada 12 Mei 2015 bersama Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri BUMN. Hasilnya jelas: stok gula konsumsi surplus, tidak ada kebutuhan impor. Namun, di bawah komando Tom, Kementerian Perdagangan justru menerbitkan izin impor kepada PT Angels Products (PT AP), sebuah perusahaan swasta. “Saya hanya ingin melayani negara,” ujar Tom dalam pernyataan sebelumnya, namun kini kata-kata itu bergema di tengah sorotan tajam publik.
Kebijakan Kontroversial dan Dampaknya
Menurut dakwaan, Tom tidak hanya melangkahi kesepakatan rapat koordinasi, tetapi juga menabrak aturan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, impor gula kristal putih hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Tom memilih PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih untuk konsumsi masyarakat. “Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi ada indikasi penyalahgunaan wewenang,” tegas jaksa di persidangan.
Keputusan itu ternyata membawa konsekuensi besar. Gula yang diimpor dan diolah tersebut dijual ke masyarakat melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dengan harga Rp16.000 per kilogram—jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu, Rp13.000 per kilogram. Jaksa memperkirakan, praktik ini merugikan negara hingga Rp578 miliar, angka yang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan ahli dan pengamat hukum. Di sisi lain, kebijakan ini terjadi saat Indonesia bersiap menyambut Ramadan dan Idul Fitri 2015, periode di mana stabilitas harga pangan menjadi prioritas utama pemerintah.
Latar belakang kasus ini tak lepas dari dinamika perdagangan gula di Indonesia, negara yang kerap bergulat dengan ketimpangan antara produksi domestik dan kebutuhan konsumsi. Meski Tom baru dilantik pada Agustus 2015—tiga bulan setelah rapat koordinasi—jaksa menilai kebijakan impor yang ia keluarkan tetap bermasalah. Penggeledahan Kejaksaan Agung di Kementerian Perdagangan pada Oktober 2023 menjadi titik awal penyidikan, yang kemudian menetapkan Tom sebagai tersangka pada Oktober 2024 bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI berinisial CS.
Dari Kursi Menteri ke Bangku Terdakwa
Sidang perdana ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga nostalgia bagi mereka yang mengenal Tom sebagai tokoh berpengaruh. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal sebagai pengusaha sukses dan pernah menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun, kini ia duduk di bangku terdakwa, mengenakan rompi tahanan, ditemani sorak sorai pendukung seperti Anies Baswedan yang hadir sebagai sahabat. “Saya percaya keadilan akan ditegakkan,” kata Tom dengan tenang usai sidang, menunjukkan ketegaran di tengah badai.
Publik kini menanti kelanjutan persidangan. Kejagung bersikukuh bahwa kasus ini murni penegakan hukum, bukan politisasi, meski banyak yang mempertanyakan timing penetapan tersangka—tepat setahun setelah Tom aktif di tim pemenangan Anies pada Pilpres 2024. Bagi warga biasa seperti Siti, pedagang pasar di Jakarta, kasus ini terasa jauh dari keseharian. “Yang penting harga gula stabil, siapa pun salahnya biar hakim yang putuskan,” ujarnya sederhana.
Di akhir sidang, Tom Lembong menatap ke depan dengan tatapan penuh harap. Persidangan ini bukan hanya ujian baginya, tetapi juga cermin bagi sistem perdagangan dan penegakan hukum di Indonesia. Akankah kebenaran terungkap, atau justru menambah daftar panjang kontroversi? Waktu akan menjadi hakim sejati.