Jakarta, 8 Maret 2025 – Di Istana Merdeka, Jakarta, sorotan dunia tertuju pada pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan miliarder Amerika Serikat, Ray Dalio, pada Jumat (7/3). Dalam suasana penuh antusiasme, Prabowo memperkenalkan pendiri Bridgewater Associates ini kepada para konglomerat Indonesia, menandai langkah besar dalam membangun Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara—lembaga yang diharapkan menjadi tonggak kekuatan ekonomi baru Tanah Air.
Di balik batik cokelat yang dikenakan Dalio, tersirat cerita seorang investor legendaris yang kini menjadi sahabat dekat Prabowo. “Saya di sini bukan untuk uang, tetapi untuk membantu mewujudkan potensi Indonesia,” ujar Dalio, memecah keheningan ruangan dengan nada rendah namun penuh makna.
Jejak Kehebatan Ray Dalio dan Kepercayaan Prabowo
Ray Dalio bukan nama sembarangan di dunia investasi global. Pria berusia 75 tahun ini mendirikan Bridgewater Associates pada 1975 dari apartemen sederhana di New York, yang kini menjadi raksasa pengelola dana lindung nilai terbesar di dunia dengan aset lebih dari Rp1.745 triliun.
Kesuksesannya tak hanya terukur dari kekayaan pribadinya yang mencapai Rp228 triliun versi Forbes 2025. Dalio dikenal sebagai visioner yang memahami pola ekonomi dunia, sebagaimana tertuang dalam bukunya, The Changing World Order, yang menganalisis kebangkitan dan keruntuhan negara berdasarkan siklus sejarah.
Kepercayaan Prabowo pada Dalio bukan tanpa alasan. Sejak bertemu di World Government Summit 2025 di Dubai, Februari lalu, Dalio memuji potensi Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo, bahkan menyamakannya dengan Deng Xiaoping dan Narendra Modi—pemimpin yang mengubah wajah ekonomi negaranya.
Hubungan ini makin erat ketika Dalio memberi pembekalan kepada 49 calon menteri Prabowo di Hambalang, Oktober 2024. Kini, di Istana, ia duduk di samping presiden, berbagi wawasan dengan para taipan seperti Haji Isam, Aguan, Anthony Salim, dan Chairul Tanjung.
Pertemuan Bersejarah untuk Danantara
Pertemuan itu bukan sekadar seremoni. Prabowo menggagas Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) untuk mengelola aset BUMN dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, sebuah ambisi yang membutuhkan strategi jitu.
Dalio, dengan pengalaman 50 tahun di pasar global, menilai Indonesia berada di “titik lepas landas” berkat utang rendah dan produktivitas tinggi. “Jika infrastruktur dibangun dengan dana yang ada, transformasi besar bisa terjadi,” katanya, disambut anggukan para hadirin.
Namun, tantangan tak kecil. Dalam diskusi, Dalio menekankan pentingnya stabilitas politik, pengelolaan utang, dan keseimbangan ekonomi—prinsip yang ia tuangkan dalam bukunya untuk menghindari krisis. Prabowo mendengarkan penuh perhatian, sesekali tersenyum saat memperkenalkan menteri dan pengusaha satu per satu kepada tamunya.
Chairul Tanjung, salah satu peserta, mengaku terkesan. “Ray berbagi pengetahuan luar biasa tentang membangun ekonomi yang baik, dan diskusinya sangat produktif,” ujar bos CT Corp itu usai pertemuan.
Harapan di Tengah Tantangan
Bagi Prabowo, kehadiran Dalio adalah angin segar. “Kami butuh pandangan kritis dan pengalaman global untuk mengelola aset negara dengan efisien,” tegasnya, menegaskan visi Danantara sebagai alat konsolidasi ekonomi yang kompetitif di dunia.
Di sisi lain, Dalio menegaskan motivasinya yang tulus. “Saya sudah punya cukup uang. Yang saya cari adalah inspirasi dari potensi Indonesia,” ucapnya, mengundang decak kagum para konglomerat yang hadir.
Pertemuan ini meninggalkan jejak optimisme. Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan figur seperti Dalio, Indonesia berharap melangkah menuju era keemasan ekonomi. Namun, keberhasilan visi ini akan bergantung pada eksekusi yang cermat di tengah dinamika global.
Saat Dalio meninggalkan Istana, sorot matanya mencerminkan keyakinan: Indonesia, di tangan Prabowo, bisa menjadi kekuatan baru. Bagi rakyat, momen ini adalah harapan—sebuah cerita yang baru dimulai, menanti babak berikutnya.