Karawang, 4 Maret 2025 – Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sejak awal Maret telah mengubah kehidupan ribuan warga menjadi penuh tantangan. Hingga hari ini, tiga kecamatan—Teluk Jambe, Karawang Barat, dan Pangkalan—masih terendam banjir dengan ketinggian air mencapai dua meter. Di tengah genangan yang tak kunjung surut, cerita pilu dan harapan warga menjadi cerminan ketangguhan menghadapi bencana alam yang kini menjadi langganan tahunan di wilayah ini.

Bayu, seorang ayah dua anak dari Desa Karangligar, Kecamatan Teluk Jambe, terpaksa mengungsi bersama keluarganya ke posko darurat yang didirikan tim penyelamat. “Air masuk ke rumah tiba-tiba malam tadi. Saya hanya sempat ambil pakaian anak-anak dan beberapa dokumen penting. Sisanya terendam semua,” ujarnya dengan raut wajah lelah, sembari menggendong anak bungsunya yang baru berusia tiga tahun. Kisah Bayu hanyalah satu dari sekian banyak warga yang kini bergantung pada bantuan logistik dan tempat pengungsian sementara.

Latar Belakang dan Dampak Banjir
Berdasarkan laporan resmi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karawang, banjir kali ini dipicu oleh curah hujan tinggi yang menyebabkan luapan sungai-sungai besar seperti Cibeet dan Citarum. Data terkini menyebutkan, sebanyak 3.659 kepala keluarga atau sekitar 10.180 jiwa terdampak di tiga kecamatan tersebut. Secara rinci, banjir merendam empat desa di Teluk Jambe (Karangligar, Mekarmulya, Mulyajaya, dan Wanakerta), dua desa di Karawang Barat (Tanjungmekar dan Karawangkulo), serta empat desa di Pangkalan (Mulangsar, Ciptasari, Tamanmekar, dan Tamansari).

Tim Reaksi Cepat (TRC) mencatat bahwa 375 warga dari Desa Karangligar telah dievakuasi ke tempat pengungsian. Ketinggian air yang mencapai dua meter di beberapa titik membuat proses evakuasi berlangsung dramatis. Perahu karet menjadi alat utama penyelamatan, sementara petugas berjibaku melawan arus untuk menjangkau warga yang terjebak di atap rumah. “Kami bekerja nonstop sejak kemarin. Kondisi air masih tinggi, tapi kami terus berupaya,” ungkap seorang anggota TRC yang enggan disebutkan namanya.

Banjir ini bukanlah hal baru bagi Karawang. Wilayah ini kerap menjadi langganan genangan setiap musim hujan akibat letak geografisnya yang dilewati sungai besar dan sistem drainase yang belum optimal. Pada Januari 2024 lalu, banjir serupa juga melanda empat kecamatan, memaksa lebih dari 2.000 jiwa mengungsi. Pemerintah daerah telah berulang kali menggelontorkan anggaran untuk normalisasi sungai dan pembangunan tanggul, namun tantangan topografi dan perubahan iklim tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai.

Respons dan Harapan ke Depan
Pemerintah Kabupaten Karawang bersama BNPB terus berkoordinasi untuk mempercepat penanganan. Bantuan berupa sembako, selimut, dan peralatan evakuasi telah disalurkan ke titik-titik pengungsian. “Kami prioritaskan keselamatan warga dan kebutuhan dasar mereka. Tim juga sedang memetakan langkah mitigasi jangka panjang,” kata seorang pejabat BPBD Karawang.

Di sisi lain, warga seperti Bayu hanya bisa berharap banjir segera surut agar kehidupan mereka kembali normal. “Saya cuma ingin anak-anak bisa tidur nyenyak lagi di rumah, bukan di tenda pengungsian,” tuturnya lirih. Di tengah bencana, semangat gotong royong antarwarga menjadi penutup harapan. Mereka saling membantu membersihkan lumpur, membagikan makanan, dan menguatkan satu sama lain.

Banjir di Karawang kali ini kembali mengingatkan bahwa tantangan bencana alam membutuhkan solusi kolektif. Sementara hujan terus mengintai, ribuan pasang mata di tiga kecamatan ini menanti langit cerah—dan masa depan yang lebih aman dari ancaman banjir.