Jakarta, 5 Maret 2025 – Dunia jurnalisme Indonesia kehilangan salah satu pilarnya. Fikri Jufri, wartawan senior dan salah satu pendiri Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo, meninggal dunia pada Kamis pagi (6/3) pukul 09.41 WIB di usia 89 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi komunitas pers yang mengenalnya sebagai sosok visioner dengan dedikasi tak pernah padam. Di balik jenazah yang kini disemayamkan di Serenia Hills, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tersimpan kisah panjang perjuangan seorang jurnalis yang membentuk wajah media modern Indonesia.
Pagi itu, suasana di kediaman Fikri terasa hening. Menantunya, Dina Purita, dengan suara lembut mengkonfirmasi kabar yang mulai menyebar di kalangan wartawan. “Betul sekali,” katanya singkat kepada Tempo, menahan haru. Tak lama kemudian, Goenawan Mohamad, sahabat sekaligus rekan pendiri Tempo, membenarkan kepergian Fikri melalui pesan singkat. Bagi Goenawan, Fikri bukan sekadar kolega, tetapi juga saksi hidup perjalanan panjang Tempo melawan tekanan zaman. “Dia pejuang sejati,” ujarnya, mengenang sosok yang dikenal dengan panggilan “FJ” itu.
Perjalanan Panjang Sang Jurnalis
Fikri Jufri lahir di Jakarta pada 25 Maret 1936, di tengah gejolak menuju kemerdekaan. Sejak muda, ia telah akrab dengan diskusi politik berkat sang ayah, seorang nasionalis. Ketertarikannya pada dunia tulis-menulis membawanya ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meski akhirnya jurnalisme menjadi panggilan hidupnya. Kariernya dimulai sebagai reporter di Harian Kami (1967-1968), dilanjutkan di Harian Pedoman (1968-1969), sebelum akhirnya bersama Goenawan Mohamad dan beberapa wartawan lain mendirikan Tempo pada 6 Maret 1971.
Tempo bukan sekadar majalah bagi Fikri; ia adalah mimpi tentang jurnalisme independen di tengah iklim Orde Baru yang penuh pembatasan. Bersama Ciputra sebagai pemodal, Fikri dan kawan-kawan membangun media yang tak gentar mengungkap fakta, meski harus berhadapan dengan pembredelan pada 1994. Kerenangan dan keahliannya dalam melobi serta mewawancarai narasumber menjadikannya tulang punggung redaksi. “FJ punya cara sendiri membaca situasi, dan dia selalu dapat bahan eksklusif,” kenang seorang mantan wartawan Tempo.
Tak berhenti di Tempo, Fikri juga turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 1994 sebagai respons atas pembungkaman pers, serta Komunitas Utan Kayu pada 1995 yang menjadi ruang diskusi budaya dan kebebasan berpikir. Di usia senja, ia menuangkan pengalamannya dalam buku biografi Saya Al Jufri Bukan Al Capone, diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke-81, sebagai warisan bagi generasi muda.
Warisan dan Duka yang Ditinggalkan
Kepergian Fikri terjadi sehari sebelum peringatan 54 tahun berdirinya Tempo. Bagi banyak jurnalis muda, ia adalah inspirasi hidup—sosok yang membuktikan bahwa integritas dan keberanian bisa bertahan di tengah badai. Andreas Harsono, wartawan senior, menulis di media sosial, “Fikri Jufri adalah simbol perjuangan pers bebas Indonesia.” Sementara itu, rencana pemakaman di TPU Karet Bivak sore ini menjadi penutup perjalanan panjangnya di dunia yang ia cintai.
Latar belakang Fikri sebagai anak tunggal yang dibesarkan dengan nilai nasionalisme tercermin dalam setiap langkahnya. Ia tak sekadar melaporkan berita, tetapi juga membentuk narasi yang mengedukasi publik. Di masa Orde Baru, ketika kebebasan pers tercekik, ia dan Tempo menjadi suara yang tak bisa dibungkam sepenuhnya, bahkan saat majalah itu dilarang terbit. Kembalinya Tempo pada 1998 pasca-reformasi adalah bukti bahwa semangat Fikri dan rekan-rekannya tak pernah mati.
Kini, saat jenazahnya bersiap dimakamkan, dunia pers Indonesia merenung. Fikri Jufri telah pergi, tetapi jejaknya tetap hidup dalam setiap halaman Tempo dan hati para jurnalis yang ia ajarkan untuk tak pernah menyerah. Di tengah duka, ada harapan bahwa semangatnya akan terus mengalir, menginspirasi generasi baru untuk menjaga api kebenaran tetap menyala. Selamat jalan, FJ—legenda yang tak akan terlupakan.