Sukoharjo, 5 Maret 2025 – Suasana haru menyelimuti halaman pabrik PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, ketika ribuan pekerja mengucapkan selamat tinggal pada tempat mereka mencari nafkah selama puluhan tahun. Pada 1 Maret lalu, Sritex—perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara—resmi menutup operasinya setelah Mahkamah Agung menolak banding atas putusan pailit. Di tengah isak tangis, Suyoto, seorang karyawan veteran berusia 50 tahun, memandang seragam kerjanya yang ditandatangani rekan-rekan sebagai kenangan terakhir. “Saya kerja di sini 30 tahun. Sekarang, kredit rumah belum lunas, tapi kerjaan hilang,” ujarnya dengan suara bergetar, mencerminkan keputusasaan lebih dari 10.000 pekerja yang kini menghadapi masa depan tak pasti.

Kronologi Kejatuhan dan Dampaknya
Penutupan Sritex bukanlah akhir yang tiba-tiba. Perjalanan perusahaan yang didirikan pada 1966 oleh H.M. Lukminto ini pernah mencapai puncak kejayaan, menjadi pemasok kain dan pakaian untuk merek global seperti H&M, Uniqlo, hingga seragam militer NATO. Namun, pandemi Covid-19 pada 2020 menjadi titik awal masalah. Permintaan ekspor anjlok, sementara utang perusahaan membengkak hingga Rp24,3 triliun (sekitar $1,6 miliar) per September 2023. Upaya restrukturisasi utang pada 2022 gagal setelah PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditor, mengajukan gugatan pailit yang dikabulkan Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024.

Kini, lebih dari 10.965 pekerja di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang kehilangan pekerjaan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, pabrik terbesar Sritex di Sukoharjo saja mempekerjakan 8.500 orang. “Saya bawa pulang foto Pak Lukminto sebagai kenangan. Ini seperti kehilangan keluarga,” ungkap Sri Wiyani, karyawan dengan 20 tahun pengabdian, sambil memegang bingkai foto pendiri perusahaan. Pemerintah berjanji menjamin hak pesangon sesuai UU Cipta Kerja, namun bagi banyak pekerja seperti Suyoto, uang itu tak cukup menutup luka kehilangan mata pencaharian.

Krisis Sritex juga mengguncang rantai pasok tekstil nasional. Redma Gita Wirawasta dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia memperingatkan, “Jika Sritex tutup, seluruh ekosistem tekstil bisa kolaps.” Industri ini memang tengah terpuruk: sepanjang 2024, 30 pabrik tekstil di Indonesia tutup, dan 22.356 pekerja kehilangan pekerjaan akibat banjir impor murah dari Tiongkok serta melemahnya daya saing global.

Latar Belakang: Industri Tekstil di Ujung Tanduk
Penutupan Sritex adalah cermin dari tantangan besar yang dihadapi industri tekstil Indonesia. Selama dekade terakhir, sektor ini menyumbang 6,5% PDB nonmigas dan menyerap jutaan tenaga kerja. Namun, kebijakan impor yang longgar—terutama pasca-revisi Permendag No. 8/2024—membuka pintu bagi tekstil murah Tiongkok, yang harganya tak bisa disaingi produsen lokal. Di sisi lain, biaya logistik tinggi, infrastruktur yang tertinggal, dan permintaan ekspor yang lesu akibat perlambatan ekonomi global menambah beban.

Pemerintah sempat berupaya menyelamatkan Sritex. Presiden Prabowo Subianto, yang baru dilantik Oktober lalu, memerintahkan empat kementerian mencari solusi. Tarif impor tekstil dinaikkan, dan rencana penyewaan aset Sritex kepada investor swasta digulirkan. Namun, langkah itu terlambat. “Kami sudah buka opsi sewa aset untuk menjaga nilai kepailitan dan membuka peluang pekerja direkrut kembali,” kata kurator Sritex, Nurma Sadikin, pada 3 Maret. Sayangnya, keputusan MA mengakhiri harapan itu.

Menatap Masa Depan yang Kelam
Bagi pekerja seperti Suyoto dan Sri, penutupan Sritex bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga mimpi yang runtuh. “Anak saya masih sekolah. Saya harus mulai dari nol di usia segini,” keluh Suyoto. Di tengah janji pemerintah untuk stimulus ekonomi dan perlindungan pekerja, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Industri tekstil Indonesia kini berdiri di persimpangan: bangkit dengan kebijakan protektif yang lebih kuat atau terus terpuruk di bawah tekanan global.

Sementara itu, seragam bertanda tangan yang dibawa pulang pekerja Sritex menjadi simbol perpisahan yang pahit—pengingat bahwa di balik kejayaan masa lalu, ada cerita manusia yang kini berjuang mencari cahaya di ujung krisis.