KUPANG – Institusi Kepolisian Republik Indonesia kembali diterpa sorotan tajam publik menyusul kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur yang melibatkan mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman.
Peristiwa ini tidak hanya mencoreng wajah Polri, tetapi juga memicu kemarahan masyarakat serta desakan agar pelaku dihukum seberat mungkin.
Hingga hari ini, Rabu, 12 Maret 2025, kasus ini masih bergulir dan menjadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk DPR RI, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Kasus ini pertama kali mencuat setelah otoritas kepolisian Australia menemukan konten video asusila yang menampilkan anak di bawah umur di sebuah situs pornografi daring di negaranya.
Penyelidikan lebih lanjut mengarahkan jejak digital ke Indonesia, tepatnya ke wilayah NTT.
Laporan dari pihak Australia tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, yang akhirnya berhasil menangkap AKBP Fajar pada 20 Februari 2025 di Kupang, NTT.
Menurut keterangan resmi Kepala Bidang Humas Polda NTT, Kombes Pol Henry Novika Chandra, penangkapan dilakukan setelah proses penyelidikan intensif yang melibatkan kerja sama lintas negara.
Fajar, yang saat itu masih menjabat sebagai Kapolres Ngada, langsung dinonaktifkan dari tugasnya untuk mempermudah proses hukum.
Temuan awal menunjukkan bahwa Fajar tidak hanya diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur, tetapi juga terlibat dalam penggunaan narkoba, yang semakin memperparah tuduhan terhadapnya.
Fakta-Fakta yang Terungkap
Berdasarkan informasi yang dirilis oleh pihak berwenang, Fajar diduga membayar perantara sebesar Rp3 juta untuk menyediakan korban baginya.
Hingga kini, setidaknya dua anak di bawah umur dilaporkan menjadi korban aksi bejatnya, meskipun jumlah tersebut masih mungkin bertambah seiring pendalaman kasus oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Ngada.
Salah satu fakta mencengangkan adalah pengakuan Fajar sendiri, yang disebut-sebut telah mengakui perbuatannya saat diperiksa oleh Propam Mabes Polri di Kupang.
Kabareskrim Polri, Komjen Pol Wahyu Widada, menegaskan bahwa Polri berkomitmen penuh untuk menindak anggotanya yang melanggar hukum.
“Instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo jelas: tidak ada toleransi bagi anggota yang melakukan pelanggaran, apalagi tindakan kriminal seberat ini,” ujar Wahyu dalam sebuah kesempatan di Jakarta.
Ia juga menambahkan bahwa proses hukum akan berjalan secara transparan dan sesuai peraturan yang berlaku.
Kasus ini memicu gelombang kemarahan di kalangan masyarakat, terutama karena pelaku adalah seorang pejabat tinggi kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom.
Polda NTT, melalui konferensi pers, menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan oknum tersebut.
“Kami sangat menyesali kejadian ini dan memohon maaf kepada masyarakat. Ini adalah tamparan keras bagi institusi kami,” ungkap seorang perwakilan Polda NTT.
Di tingkat nasional, Kompolnas yang dipimpin oleh Menko Polkam Budi Gunawan turun tangan untuk mengawasi jalannya penyelidikan.
“Kami pastikan proses hukum berjalan adil dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Hukuman bagi oknum seperti ini harus lebih berat dibandingkan masyarakat biasa,” tegas Budi dalam pernyataannya pada awal Maret lalu.
Sementara itu, KemenPPPA memberikan apresiasi atas langkah cepat Polri dan Kompolnas, sekaligus mendorong perlindungan maksimal bagi para korban.
Dari sisi legislatif, anggota Komisi XIII DPR RI, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, mendesak agar Fajar dihukum seumur hidup.
Bahkan, ada pula usulan dari DPR agar pelaku bisa dijerat hukuman mati, mengingat dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap korban serta pelanggaran berat terhadap hukum dan moral.
Hingga kini, AKBP Fajar Widyadharma Lukman masih menjalani pemeriksaan intensif di Mabes Polri.
Statusnya sebagai tersangka belum resmi diumumkan, tetapi pengakuannya dan bukti awal yang ada menjadi sinyal kuat bahwa proses hukum akan segera menjeratnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk mereka yang berada di garis depan penegakan hukum itu sendiri.
Publik kini menanti langkah konkret Polri untuk memastikan keadilan ditegakkan, sekaligus memulihkan kepercayaan yang telah tercoreng.***