Jakarta, 6 Maret 2025 – Istana Kepresidenan Jakarta menjadi saksi pertemuan langka pada Kamis sore (6/3), ketika Presiden Prabowo Subianto menyambut delapan pengusaha papan atas Indonesia. Dari Sugianto Kusuma alias Aguan hingga Prajogo Pangestu dan Tomy Winata, para taipan ini duduk bersama presiden, membahas visi ekonomi yang bisa mengubah wajah Indonesia di tengah tantangan global.
Di ruang pertemuan yang hangat, Prabowo tampak berseri, dikelilingi oleh Anthony Salim, Aguan, Prajogo Pangestu, Garibaldi “Boy” Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, yang turut mendampingi, mengungkapkan bahwa diskusi berfokus pada perkembangan ekonomi terkini dan program prioritas pemerintah.
“Bayangkan, delapan orang ini membawa pengalaman puluhan tahun di berbagai sektor,” ujar Teddy usai pertemuan, sembari tersenyum.
Agenda utama mencakup program Makan Bergizi Gratis, swasembada pangan, hingga Badan Pengelola Investasi Danantara—proyek ambisius yang kini jadi sorotan.
Bagi Aguan, pendiri Agung Sedayu Group, pertemuan ini terasa personal.
“Saya ingat saat pertama kali membangun proyek properti di Jakarta, tak pernah mimpi bisa duduk bersama presiden membahas masa depan bangsa,” katanya kepada wartawan.
Prajogo Pangestu, taipan energi dan petrokimia, juga hadir dengan aura optimisme.
Ia yang kini mengendalikan Barito Pacific dan Chandra Asri, disebut tertarik mendukung industrialisasi hijau yang digaungkan Prabowo.
Sementara itu, Boy Thohir dari Adaro Energy tampak antusias saat menyebut potensi energi terbarukan.
“Kalau kita sinergi, swasembada energi bukan cuma mimpi,” ujarnya, menatap masa depan dengan penuh harap.
Pertemuan ini bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan ambisi besar pemerintah.
Data dari Sekretariat Kabinet menunjukkan, para pengusaha ini menguasai sektor strategis: properti, energi, pangan, hingga tekstil—tulang punggung ekonomi nasional.
Latar belakang pertemuan ini tak lepas dari tantangan ekonomi global yang kian kompleks.
Dengan inflasi dunia yang fluktuatif dan perubahan iklim yang mendesak, Prabowo tampaknya ingin memastikan sektor swasta jadi mitra sejati.
Program Makan Bergizi Gratis, misalnya, membutuhkan investasi besar dan distribusi cerdas—dua hal yang jadi keahlian para taipan ini.
Begitu pula dengan Danantara, yang diharapkan jadi magnet investasi baru di Asia Tenggara.
Di balik meja bundar Istana, ada cerita yang lebih manusiawi.
Franky Widjaja dari Sinar Mas berbagi kenangan saat bisnis keluarganya nyaris kolaps di era krismon 1998, namun kini bangkit jadi raksasa kertas dan agribisnis.
“Saya belajar, kerja sama dengan pemerintah itu kunci,” katanya, mengangguk ke arah Prabowo.
James Riady dari Lippo Group pun tak ketinggalan, menyinggung rencana ekspansi pendidikan dan kesehatan.
“Anak-anak kita harus jadi prioritas,” tegasnya, sejalan dengan visi presiden.
Diskusi berlangsung lebih dari dua jam, diakhiri dengan jabat tangan dan janji untuk bertemu lagi.
Prabowo, dalam penutupannya, berterima kasih atas komitmen para pengusaha untuk mendukung program strategis pemerintah.
Malam itu, lampu-lampu Istana masih menyala terang, seolah menandakan harapan baru yang tengah dirajut.
Bagi rakyat, pertemuan ini adalah tanda bahwa pemerintah dan swasta mulai melangkah seiring, menuju Indonesia yang lebih sejahtera.
Namun, tantangan masih menanti: bagaimana visi besar ini diterjemahkan ke lapangan?
Hanya waktu yang akan menjawab, tapi langkah pertama sudah diambil, dan dunia menyaksikan.
Para pengusaha pulang dengan semangat, sementara Prabowo kembali ke meja kerjanya.
Di luar Istana, Jakarta berdengung dengan spekulasi: akankah kolaborasi ini jadi tonggak sejarah, atau sekadar janji manis di atas kertas?
Yang jelas, malam ini membuktikan satu hal: ketika taipan dan presiden bersatu, Indonesia punya peluang untuk bermimpi lebih besar.