Washington, 7 Maret 2025 – Ketegangan geopolitik kembali memanas di Pasifik setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melontarkan pernyataan yang menempatkan Jepang sebagai “korban baru” dalam kebijakan luar negerinya. Dalam pidato pada Kamis (6/3) waktu setempat, Trump mempertanyakan Perjanjian Keselamatan AS-Jepang, menyebutnya tidak adil karena hanya AS yang berkewajiban melindungi Jepang tanpa imbal balik serupa.
Ucapan ini sontak memicu kekhawatiran di Tokyo, negara yang selama puluhan tahun mengandalkan payung keamanan AS untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Timur.
Akar Konflik dan Konteks Hubungan Bilateral
Perjanjian Keselamatan AS-Jepang, yang diteken pada 1960, menjadi landasan utama aliansi kedua negara pasca-Perang Dunia II.
Jepang, dengan konstitusi pasifisnya, membatasi kemampuan militernya dan bergantung pada AS untuk perlindungan terhadap ancaman seperti Korea Utara dan China. Namun, Trump menilai hubungan ini timpang, terutama karena Jepang tidak wajib membantu AS secara militer jika konflik terjadi di wilayah lain.
“Kami melindungi mereka, tapi mereka tidak melindungi kami. Mereka malah meraup kekayaan dari perdagangan,” ujar Trump, sebagaimana dikutip AFP.
Pernyataan ini bukan pertama kalinya Trump mengkritik sekutu AS, tetapi timing-nya kini terasa lebih krusial di tengah meningkatnya ketegangan dengan China dan Rusia. Jepang, sebagai kekuatan ekonomi global, juga menjadi mitra dagang besar AS, meski hubungan ini kerap diwarnai ketidakseimbangan perdagangan yang menguntungkan Tokyo.
Selain itu, Trump tampaknya ingin memanfaatkan posisi tawar AS untuk renegosiasi perjanjian, sebuah pola yang ia tunjukkan sejak masa jabatan pertamanya.
Di sisi lain, Jepang telah meningkatkan peran militernya dalam dekade terakhir, termasuk revisi anggaran pertahanan dan pengembangan kapabilitas rudal, namun tetap dalam batas konstitusi.
Dampak dan Respons dari Tokyo
Pernyataan Trump langsung mengundang reaksi dari pejabat Jepang, meski nada mereka masih hati-hati.
Menteri Pertahanan Jepang Yasukazu Hamada menyebut aliansi dengan AS sebagai “tulang punggung keamanan nasional” dan berjanji akan berkomunikasi dengan Washington untuk menjernihkan situasi. Namun, di balik layar, kekhawatiran mulai muncul di kalangan elit politik Tokyo.
“Jika Trump serius, ini bisa mengguncang fondasi kebijakan luar negeri kami,” kata seorang analis politik Jepang yang enggan disebut namanya.
Bagi masyarakat Jepang, ketidakpastian ini terasa nyata, mengingat ancaman dari tetangga seperti Korea Utara yang kerap meluncurkan rudal ke wilayah laut Jepang. Kehilangan jaminan AS bisa memaksa Jepang mempercepat remiliterisasi—langkah yang kontroversial di dalam negeri maupun kawasan.
Sementara itu, pasar finansial bereaksi cepat: yen melemah terhadap dolar AS sehari setelah pidato Trump, mencerminkan ketidakstabilan ekonomi yang mungkin menyusul.
Para ekonom memperingatkan bahwa eskalasi konflik ini bisa mengganggu rantai pasok global, mengingat Jepang adalah pusat manufaktur teknologi dan otomotif dunia.
Masa Depan yang Penuh Tanya
Di Washington, para pembantu Trump tampaknya mendukung pendekatan keras ini sebagai bagian dari strategi “America First” yang kembali digaungkan.
Namun, beberapa pengamat menilai langkah ini berisiko merusak aliansi strategis di saat AS membutuhkan sekutu untuk menghadapi China yang kian asertif. “Trump mungkin ingin tekanan ekonomi, tapi ini bisa jadi bumerang,” ujar seorang pakar hubungan internasional dari Universitas Georgetown.
Bagi Jepang, situasi ini adalah ujian besar: bertahan dengan status quo atau mulai berdiri sendiri di panggung dunia yang kian tak menentu.
Sementara diplomasi berjalan, dunia menyaksikan dengan napas tertahan, menanti apakah ketegangan ini akan mereda atau justru membuka babak baru dalam hubungan dua kekuatan ekonomi terbesar ini. Di tengah semua itu, satu hal jelas: Trump kembali menjadi pusat perhatian, dan Jepang harus bersiap menghadapi badai yang mungkin lebih besar dari dugaan.